Beranda | Artikel
Gelar Wahabi
1 hari lalu

Gelar Wahabi adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Minhaj Al-Firqah an-Najiyah wa ath-Tha’ifah Al-Manshurah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah TaslimM.A. pada Sabtu, 8 Jumadil Akhir 1447 H / 29 November 2025 M.

Kajian Tentang Gelar Wahabi

Pemberian gelar-gelar buruk ini bertujuan untuk membuat orang lari dari dakwah yang agung ini. Tidak mengherankan, sebagaimana diketahui di dalam Al-Qur’an, orang-orang yang memusuhi dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memberikan gelar yang buruk bagi beliau yang mulia. Padahal, mereka mengakui kemuliaan akhlak, kejujuran, dan sifat amanah yang ada pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bersamaan dengan itu, mereka masih memberikan gelar seperti: “penyair yang gila”, “tukang sihir pendusta”, dan seterusnya. Tentu saja, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat jauh dari sifat-sifat buruk yang mereka berikan tersebut.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman mengenai perkataan kaum kafir kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ

“Demikianlah, tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, ‘Ia adalah penyihir atau orang gila’.” (QS. Az-Zariyat [51]: 52)

Maka, sama halnya dengan dakwah tauhid di akhir zaman ini yang diberi gelar keburukan, yaitu Wahabi. Hal ini merupakan kebiasaan orang-orang yang membenci dakwah Ahlusunah wal Jamaah sejak dulu.

Imam Ahlusunah wal Jamaah, Imam Al Hafiz Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullahu Ta’ala, pernah mengatakan:

وعلامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر

“Dan ciri-ciri orang-orang ahlul bid’ah adalah selalu mencela orang-orang yang selalu mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan astar para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum ajmain.”

Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zain Rahimahullahu Ta’ala menjelaskan seputar permasalahan pemberian gelar Wahabi kepada orang-orang yang selalu mengajak kepada dakwah tauhid dan memurnikan ajaran dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Beliau berkata bahwa sebagian orang, terbiasa untuk mengucapkan tanpa basa-basi kalimat “Wahabi” terhadap orang yang menyelisihi mereka dalam kebiasaan-kebiasaan (yang bertentangan dengan agama), keyakinan-keyakinan mereka yang rusak, dan perbuatan-perbuatan bid’ah mereka. Mereka melindungi diri dengan memberikan gelar ini kepada orang yang menasihati mereka, meskipun dengan nasihat yang baik.

Meskipun keyakinan atau aqidah yang mereka yakini itu adalah aqidah yang rusak, yang menyelisihi Al-Qur’an yang mulia atau menyelisihi hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Mereka langsung memberikan cap “Wahabi” sebagai cara untuk membentengi diri dari kritikan orang-orang yang ingin meluruskan aqidah mereka yang salah.

Ketika menghadapi dakwah yang mengajak untuk kembali kepada tauhid, mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah, serta berdoa hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata, bukan kepada selain-Nya, orang-orang tertentu dengan mudah mengucapkan, “Kamu adalah Wahabi,” atau “Ini adalah dakwah Wahabi/pemahaman Wahabi.” Tuduhan ini sering dilontarkan ketika seseorang ingin meluruskan kesalahan mereka dalam memahami tauhid, perbuatan syirik yang mereka lakukan, atau perbuatan-perbuatan bid’ah yang mereka hidupkan.

Secara asal, sejak dahulu orang-orang yang menyelisihi dakwah Ahlus Sunah wal Jamaah terbiasa membuat gelar-gelar seperti ini dalam rangka melindungi diri dari kritikan terhadap mereka.

Asy Syaikkh Muhammad bin Jamil Zain Rahimahullah menceritakan pengalaman pribadinya:

Dahulu, pernah belajar kepada seorang Syaikh, membaca hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Abdullah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah.

Hal ini terjadi sebelum beliau mendapatkan hidayah untuk mengenal sunnah. Beliau adalah seorang yang rajin mempelajari Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga memiliki banyak pengetahuan. Dengan sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan hatinya untuk menerima dakwah sunnah setelah melakukan perbandingan.

Suatu saat, Asy Syaikh membaca hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan dinyatakan oleh beliau sebagai hadits yang hasan shahih. Yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada anak paman beliau:

 يَا غُلاَمُ! إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ باِللهِ

“Wahai anak kecil, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu mendapati-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Lihat: Hadits Arbain ke 19 – Jagalah Allah Niscaya Allah Menjagamu

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan agar meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Dia Maha Memiliki segala sesuatu yang ada di alam semesta, Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan perbendaharaan langit dan bumi berada di tangan-Nya. Wajar jika permintaan ditujukan hanya kepada Allah. Selain itu, permohonan pertolongan juga harus kepada Allah karena Dia Maha Kuat dan Maha Perkasa. Apabila Dia memberikan pertolongan dan penjagaan, maka tidak akan ada lagi yang bisa mencelakakan atau menimpakan keburukan.

Setelah membaca hadits ini, Asy Syaikh mengungkapkan kekagumannya terhadap penjelasan Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala. Imam An-Nawawi berkata bahwa jika hajat yang diminta seorang hamba itu adalah hajat yang tidak mampu manusia untuk memenuhinya, seperti meminta hidayah —karena hidayah di tangan Allah—, meminta pemahaman ilmu, kesembuhan orang yang sakit, dan mendapatkan keselamatan, maka dia harus meminta hal ini hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata.

Adapun meminta kepada manusia dalam hal-hal yang tidak mampu mereka penuhi dan bersandar kepada mereka, maka ini merupakan perbuatan yang tercela. Ini adalah penjelasan dari Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala.

Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zain Rahimahullahu Ta’ala kagum dengan penjelasan tersebut, padahal saat itu beliau belum mengenal hidayah kepada manhaj salaf.

Beliau berkata kepada Syaikh yang menjadi gurunya ketika mempelajari hadits Al-Arba’in An-Nawawiyah: “Wahai Syaikh, hadits ini dan penjelasan yang dibawakan oleh Imam An-Nawawi menunjukkan tidak bolehnya meminta pertolongan kepada selain Allah.”

Ini adalah fitrah yang membimbing beliau untuk meyakini dan mengikuti pemahaman yang benar.

Syaikh yang mengajarinya terkejut karena muridnya langsung membenarkan penjelasan hadits tersebut. Namun, Syaikh itu justru mengatakan, “Bahkan hal tersebut (meminta pertolongan kepada selain Allah) dibolehkan.”

Syaikh Muhammad bin Jamil Zain berkata, “Aku bertanya, ‘Apa dalilmu wahai Syaikh?`”

Padahal, jelas sudah ada dalilnya dari hadits sahih dan penjelasan Imam An-Nawawi, seorang Imam besar yang menjadi rujukan dalam syarah hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena pertanyaan itu, Syaikh tersebut menjadi marah. Lalu, dia berteriak sambil mengatakan, “Sesungguhnya bibiku pernah mengatakan seperti ini.”

Sungguh mengherankan, seorang guru yang mengajarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi dia berdalil dengan perkataan bibinya yang sama sekali bukan orang yang berilmu.

Dia berkata, “Sesungguhnya bibiku berkata, ‘Wahai Syaikh Saad (orang yang dianggap shalih dan dikuburkan di masjidnya), mohonlah pertolongan kepadanya.`” Jelas-jelas ini kesyirikan. Na’udzubillah min dzalik.

Kemudian dia bertanya kepada bibinya, “Wahai bibiku, apakah Syekh Saad, orang yang sudah mati dalam kuburannya ini, bisa memberi manfaat bagimu?”

Maka bibinya berkata, “Aku menyerunya (berdoa kepadanya) supaya dia menjadi perantara menemui Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah menyembuhkanku.”

Kejahilan dan kesyirikan seperti ini tidak hanya terjadi di zaman Jahiliah, tetapi terjadi di zaman sekarang. Bahkan, hal ini didukung oleh orang yang berilmu, yang seharusnya paham masalah ini.

Perkara syirik itu memiliki potensi untuk terjerumus di dalamnya karena manusia banyak hajatnya, selalu kekurangan, dan memiliki banyak kelemahan.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

…وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

“Dan manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (QS. An-Nisa [4]: 28)

Setan menggoda manusia untuk menyandarkan pemenuhan hajat dalam mengatasi masalah kelemahan mereka ini kepada perkara-perkara yang tampak.

Sesungguhnya, orang-orang yang tersesat aqidahnya lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang telah melihat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang. Kebiasaan tersebut adalah mendatangi kuburan atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Setan kemudian menggoda mereka, menampakkan seolah-olah ketika mereka memohon hajat di tempat-tempat tersebut, hajatnya akan terkabul.

Dalam biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi Rahimahullahu Ta’ala, bahwa sebagian orang bahkan pernah meminta kepada pohon kurma agar dimudahkan mendapatkan jodoh. Hal ini menunjukkan tingkat kejahilan yang parah, terjadi pada orang-orang yang tidak mengenal aqidah yang benar. Oleh karena kelemahan ini, mereka menyandarkan permohonan hajat kepada makhluk, sebab mereka belum mengenal Allah.

Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Dekat dan Maha Mengabulkan doa. Memohon kepada-Nya tidak membutuhkan perantara karena Dia Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Mengetahui segala hajat serta kebutuhan hamba-Nya. Hanya Dia satu-satunya yang Mahakuasa memenuhi kebutuhan mereka.

Keterangan ini sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memerintahkan: “Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau membutuhkan pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Kejahilan dalam aqidah ini dapat terjadi, bahkan didukung oleh seorang guru yang mengajarkan Hadits Arbain An-Nawawiyah, seperti yang dikisahkan dalam riwayat ini.

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Rahimahullahu Ta’ala kemudian berkata kepada gurunya tersebut, “Anda adalah seorang yang berilmu, Anda telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membaca kitab-kitab.”

Guru tersebut adalah orang Arab yang tinggal di Negeri Syam, terbiasa membaca kitab-kitab berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama. Penjelasan Imam An-Nawawi pun bukan hal asing baginya, dan ia termasuk yang menerima penjelasan Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala.

Lanjut Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, “Dalam keadaan Anda berilmu dan sering membaca kitab, mengapa Anda malah mengambil aqidah dari bibi Anda yang jahil ini?”

Bibi tersebut nyata-nyata tidak mengetahui apa-apa, bahkan terjerumus ke dalam kesyirikan. Seharusnya, guru tersebut mengingkari dan menasihatinya. Namun, yang terjadi justru aqidah bibinya dijadikan dasar untuk membantah dalil yang sangat jelas dalam hadits serta penjelasan Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala.

Lalu, apa jawaban guru tersebut? Ia berkata, “Anda sekarang memiliki pemikiran-pemikiran Wahabi.”

Seketika, tameng andalan itu keluar. “Anda memiliki pemikiran-pemikiran Wahabi. Anda baru saja pergi menunaikan umrah, kemudian pulang dengan membawa kitab-kitab Wahabi.”

Padahal, tidak ada sangkut paut antara julukan Wahabi dengan Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala. Imam An-Nawawi hidup jauh sebelum zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sama ketika mereka memutlakkan Wahabi kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang lainnya yang mendakwahkan tauhid. Padahal orang-orang itu datangnya jauh sebelum zaman dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullahu Ta’ala.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55844-gelar-wahabi/